STATEMENT otorita keuangan Grup-7 yang dirilis seusai pertemuan akhir pekan baru lalu seakan bernada moderat, tapi mengandung peringatan serius bahwa situasi ekonomi dunia kini menghadapi tantangan dan ketidakpastian lebih besar dari tahun lalu.
Dampak tumpahan dari krisis KPR dan pelemahan pasar properti di AS dikhawatirkan akan merebak ke pasar keuangan dunia bahkan membawa berbagai kesulitan di pasar keuangan dunia, termasuk sektor perkreditan, likuiditas, pasar valas, minyak dan ekspektasi inflasi dunia.
Namun pernyataan Menkeu AS, Henry Paulson sungguh paradoksikal dan membingungkan. Di satu sisi ia mengakui fundamental ekonomi AS kini tetap “solid, tapi di lain sisi, ia memperingatkan pula bahwa kondisi kekacauan pasar keuangan dunia sungguh “serius” dan “belum mereda”.
Memang melihat dari jurus-jurus yang diambil administrasi Bush dan Badan Cadangan Federal AS sejak krisis KPR Agustus lalu, seperti injeksi bantuan likuiditas puluhan miliaran dolar ke dalam sistem perbankan, penurunan suku bunga setinggi 75 basis poin berturut-turut dan paket stimulus, termasuk pemotongan pajak senilai $168 miliar yang setujui Kongres dengan cepat, dapat kita kebayangkan keseriusan kondisi ekonomi AS yang membutuhkan aksi segera dan kekhawatiran akan “fall-out”nya atas kestabilan moneter dan pertumbuhan ekonomi dunia overall.
Disesalkan para otorita Grup-7 yang membahas sejumlah topik ekonomi penting dalam pertemuan, mulai dari tumbangnya pasar properti AS, rally pasar minyak dunia, masalah kredit macet, prospek pengetatan pemberian kredit, samapi kekhawatiran inflasi dan soal kurs tukar valas tanpa usulan tindakan konkrit untuk menangani kerawanan-kerawanan ekonomi tersebut, kecuali tindakan antara negara anggota Grup-7secara kolektif atau individual yang sesuai dengan kondisi ekonomi domestik negara bersangkutan guna menjaga kestabilan dan pertumbuhan ekonomi negara masing-masing.
Dalam konteks ini, tidak mengherankan kalau Jerman dan Jepang tidak/enggan turut AS menurunkan suku bunga dengan agresif karena pertimbangan risiko inflasi dan merasa tak perlu menerapkan paket stimulus ekonomi dosis kuat karena puas dengan laju pertumbuhan berjalan. Demikian juga China yang tidak melakukan apresiasi yuan dengan cepat atau menaikkan suku bunga tajam demi menjaga kestabilan keuangan domestik. Dan OPEC tak merasa perlu untuk menaikkan produksi, karena menurut hasil survei kartel minyak itu, rally pasar minyak sampai atas $90/barel akhir ini semata-mata disebabkan spekulasi pelaku pasar, bukan kekurangan suplai.
Bank Sentral Eropa malah mencela pihak AS membiarkan nilai mata uangnya anjlok sampai sekitar 6% terhadap euro, sehingga membawa ketidakstabilan moneter zone euro, toh defisit neraca perdagangan AS tetap membengkak.
Memang suatu fakta bahwa sistem ekonomi dunia yang berintegrasi dan terkait satu dengan yang lain, pasti “kena getah” juga dari dampak krisis KPR AS berkepanjangan. Pasaran saham dunia telah menderita kerugian sebesar $6,7 triliun dan bank-bank serta lembaga investasi dunia telah menderita “write-down” nilai aset (taksiran penurunan nilai aset) setinggi $400 miliar (tidak termasuk yang tidak bersedia diungkapkan oleh yang bersangkutan). AS kelihatan kewalahan untuk membahu sendiri akibat krisis KPR yang berasal dari negaranya, tapi takut pula “face-off” kalau memohon bantuan dari rekan-rekan Grup-7 dan mitra dagang utamanya yang kebetulan pula menempatkan kepentingan ekonomi nasional atas kepentingan kolektif.
Dengan sikap yang tidak kooperatif dan enggan berkorban para negara anggota Grup-7, maka sukar diharapkan kerjasama dan tindakan terpadu antara mereka. Statement Grup-7 jelas dan tegas mengakui pelemahan ekonomi global, tapi tidak memprediksi kemungkinan terjadi resesi dunia.
Jadi kebijakan moneter dan fiskal terpadu dan tindakan darurat kolektif antara anggota Grup-7 tak sebegitu urgen, karena tiada ancaman risiko resesi dan fundamental ekonomi AS maupun dunia tetap “solid”. Yang penting, apakah investor dan konsumen percaya bahwa kondisi ekonomi dunia pasca krisis KPR masih sehat dan tidak akan melakukan kegiatan spekulatif lagi yang sempat menggoyahkan pasaran saham, minyak dan finansial lainnya. ****