Medan, (Analisa)
Sumatera Utara terancam krisis air bersih 5-7 tahun mendatang akibat kerusakan hutan, pengambilan humus hutan dan pencemaran air sepanjang daerah aliran sungai (DAS) dengan kondisi sangat buruk dari hulu hingga ke hilir.
Jika tak segera ditanggulangi dengan sistem manajemen pengelolaan air yang mapan, krisis air bersih akan melanda Sumut pada 2015 tak akan terelakkan.
“Krisis air bersih tersebut bukan hanya dialami masyarakat pedesaan tapi juga warga perkotaan,” ungkap pemerhati lingkungan, Ir Jaya Arjuna MSc menjawab pers di Medan, Kamis (14/2).
Di sela-sela seminar “Penanggulangan Krisis Air Bersih” yang digelar Forum Komunikasi Pelanggan Air (FKMPA) di Hotel Madani, dia melihat kerusakan hutan sebagai fungsi tatanan air dan humusnya sudah habis.
Bahkan jika saja curah hujan hujan mencapai 110 meter kubik, Medan terancam banjir. Buktinya Juli lalu tercatat 10 kabupaten/kota terendam banjir. Soalnya kerusakan hutan di hulu sungai tak mampu dicegah.
“Saat ini harus kita pikirkan ketersediaan air bersih dan ancaman banjir. Justru itu semua pihak yang punya kewenangan dan tanggung jawab dengan ketersediaan air harus memiliki niat baik,” ujar Jaya yang juga menjadi pembicara dalam seminar itu.
Hal senada dilontarkan Jimmy Panjaitan dari Dewan Daerah Walhi Sumut saat menjadi pembicara dalam seminar yang mendapat respon ratusan peserta itu.
Dia mengatakan ancaman terbesar ke depan adalah krisis air akibat kerusakan hutan. Saat ini katanya, 60% rakyat Indonesia terutama masyarakat desa tidak dapat mengakses air bersih.
Sebagai contoh tumbuh maraknya depot air isi ulang di mana-mana pertanda mulai terjadinya krisis air bersih. “Untuk mendapat air bersih kita harus membeli. Bagaimana jika ke depan air bersih tidak mampu dibeli lagi,” kata Jimmy.
Publik
Tak heran petani jeruk di Tanah Karo membeli air untuk menyiram tanaman tersebut. Persoalan lain, katanya, PDAM di tanah air bekerja sama denga pihak swasta mengelola air. Padahal perusahaan daerah ini milik publik untuk mengakses air dan tak menyerahkan ke swasta.
“Ini menggambarkan tanggung jawab negara terhadap pengelolaan air makin kecil sebagai hak fundamental. Krisis air bukan disebabkan kelangkaan air tapi lebih dari krisis manajemen pengelolaan air,” ucap Jimmy
Pembicara lain Saiful dari Bapedaldasu melukiskan dahulu Sungai Deli airnya begitu jernih merupakan lambang kehidupan masyarakat. Bahkan bisa dilalui kapal VOC. Artinya sungai tak dikotori. Tapi lihat sekarang semua dibuang ke sungai.
Dia menyebutkan Indonesia, sebagian besar sumber air bersih dari sungai. Normalnya, total volume air di Bumi 1,4 juta meter kubik, tercatat 97% air laut, 3% air tawar dan 2% wujud es.
Hasil penelitian JICA (Jepang International Corporation Agency) menyimpulkan status air sungai Deli pada segmen Jalan Jenderal Sudirman hingga jembatan Labuhan tercemar berat. Tercatat 65% sumber pencemaran domestik dan 35% sumber pencemaran industri.
“Bahkan kondisi terburuk telah terjadi pada sejumlah sungai di Sumut. Akibatnya kualitas air sungai tersebut semakin menurun,” ungkap Saiful yang mewakili Ketua Bapedaldasu Prof Dr Syamsul Arifin MA.
Menurutnya, pengendalian pencemaran harus dilakukan dengan manajemen tataruang yang benar. Amdal juga untuk pengendalian pencemaran. Masyarakat juga diingatkan jangan membuang sesuatu dalam sungai.
Sementara itu Boyke dari USAID membicarakan tentang pemanfaatan sumber daya air dan penanganan krisis air di Sumatera Utara. (bay)